“Nggak heran kalau red velvet jadi salah satu keik kesukaan semua umat,” ucap Nicholas. Tuan bersurai keriting itu tinggalkan komentar setelah menelan satu potongan besar keik red velvet yang didapat dari tuan mungil di sampingnya. Tidak lain adalah Danish Wang, yang memaksa Nicholas untuk simpan uang di dompet dan biarkan ia yang menraktir untuk kali ini.
“Emangnya kenapa?” Danish lempar pandang mata pada yang lebih muda, menuntut sebuah penjelasan. Namun pada milidetik selanjutnya, Danish malah lempar sebuah tebakan berselimut tanya. Pemuda satu ini benar-benar ingin tahu pendapat Nicholas.
“Enak, ya?”
Nicholas mengangguk cepat dan antusias, ia tidak membutuhkan waktu lama untuk lakukan hal tersebut sebab segelintir pikiran ‘ingin nambah’ baru saja lewat di kepala.
“Enak. Baaaanget!” Selembar tissue diambil untuk mengelap sisa cream yang menempel pada sisi bibir Nicholas. “Kemarin Niko pikir, rasanya bakal mirip sama strawberry. Atau rasa-rasa asem dari buah begitu, kak. Ternyata dia hampir kayak coklat.”
“Tapi kakak ngerasa asemnya juga ah. Sedikit sih, apa mungkin dari cream cheese-nya?”
Berbeda dengan Nicholas yang kini beri seluruh atensi pada Danish, si tuan mungil masih fokus pada separuh potong keik miliknya. Di sini sudah jelas, kan, bedanya slow eater dan fast eater?
“Oh iya, ada sedikit! Buatku lebih berasa vanilla-nya dan gurih dari kacang. Kombinasinya pas banget, sih. Semoga penemu red velvet masuk Surga!” kata Nicholas. Terdengar polos sekali bagi Danish, ia pun tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Namun, turut mengaminkan pula di ujung waktu.
“Amen. Semoga yang masak keik di cafe ini jadi ahli Surga.”
“Amen!”
Danish menarik kedua sisi bibirnya, membentuk senyuman paling indah dari yang sebelumnya pernah Nicholas lihat. Kedua maniknya membentuk sabit cantik dan pipinya ikut naik ke atas. Ia segera mengalihkan pandang, ingin menatap hal lain karena tidak ingin jatuh lebih dalam dari ini.
“Kak, Niko mau pesen lagi. Kakak mau juga, ‘kan? Kalo nggak, tetep aku beliin sih. Soalnya aku maksa.”
Si pemilik surai coklat terang menggeleng, “kakak udah kenyaaang. Kalau minuman boleh deh!”
“Okay! Kakak mau apa? Sekarang gantian, Niko yang bayarin. Nggak boleh nolak.” Nicholas memasang wajah galak dan dapat hadiah usapan di kepala dari Danish, “duh, adeknya kak Danish udah gede, ya? Udah punya uang sendiri buat traktir kakak!”
Tanpa Danish ketahui, di sana, ada hati yang dipatahkan akibat tingkah laku dan ucapan yang diberi.
Nicholas merengut karena sebal betulan!
“Niko bukan anak kecil lagi tau, kak.”
“Iya iyaaa, cuma masih lima tahun, ya?”
“Tujuh belas tahun!”
Tanpa mampu ditahan, gelak tawa Danish terdengar memenuhi ruangan. Sulit betul ditahan! Saking lucunya (bagi Danish), ia harus mengusap ujung matanya yang baru saja teteskan air mata.
“Ohoho, anak tujuh belas tahun~ Beliin kakak peach tea dong~” Danish meminta dengan nada yang dimainkan; meledek Nicholas yang masih merenggut, tetapi tetap menyanggupi permintaannya.
Selagi menunggu Nicholas yang mengantre, Danish memainkan gawai pintarnya untuk mengirim laporan harian di aplikasi berlogo burung berwarna biru. Beberapa foto dengan caption dikirim hingga datangkan ragam komentar dari penduduknya, termasuk Nicholas yang tinggalkan komentar di sana. Danish sempat tersenyum beberapa saat saja Sebelum pesan lain datang dari teman-temannya yang berkata bahwa ia datang dengan berondongnya.
“Aneh. Apa maksudnya coba?”
Beruntung karena tidak butuh banyak waktu agar Nicholas kembali dengan satu piring berisi potongan keik matcha. Minumannya belum siap, katanya mereka harus menunggu kurang lebih lima menit.
Nampaknya, yang lebih muda sudah menangkap perubahan ekspresi dan mood dari Danish sehingga usap pada punggung diberikan dan kata ‘nggak usah dipikirin’ ia ucapkan sebab selain telah membaca apa yang teman-teman Danish katakan, Nicholas adalah alasan mengapa teman Danish mengatakan itu.
Ia sudah pernah bercerita pada Karma dan Ezra perihal rasa yang ia sembunyikan dari Danish. Ia juga membiarkan teman-teman Danish berkomentar seperti apa yang terlihat, seperti apa yang mereka inginkan musabab Nicholas tidak keberatan untuk disebut sebagai berondongnya Danish. Justru, sang lanang menikmatinya. Ia sempat rasa gelitik manis pada perutnya akibat kupu-kupu tak kasat mata yang berterbangan di sana. Pada akhirnya, Nicholas sama sekali tidak keberatan karena ia telah lama menyimpan rasa untuk Danish.